Perasaan diri suci, pasca upaya untuk menyucikan diri adalah manusiawi, alias wajar-wajar saja. Tapi mengapa dilarang?
“Ustad, sebagai manusia biasa, kadang terlintas di hati bahwa aku adalah orang yang terbaik di antara mereka. Bagaimana cara mengatasinya? Apa yang harus kulakukan? Aku tahu hal itu tidak boleh.” Begitu pesan singkat yang saya terima dari salah satu jamaah pengajian saya beberapa waktu lalu. Sebelum saya bahas solusi penyakit hati tersebut, perlu kiranya dijelaskan duduk permasalahannya. Sebab mungkin ada di antara pembaca majalah [Majalah Pengusaha Muslim Indonesia, red] ini yang bertanya-tanya: “Apa salahnya kita merasa paling baik. Toh kita sudah berusaha untuk memperbaiki diri. Bukankah itu konsekuensi hasil sebuah usaha?
Antara Usaha Menyucikan Diri dan Merasa Suci
Sebagian orang kurang bisa membedakan antara “usaha menyucikan diri” dan “merasa diri suci.” Seakan keduanya sama, padahal sebenarnya Al-Quran pun membedakannya. Mari kita cermati dua ayat berikut ini.
Ayat pertama,
Ayat kedua,
Ayat pertama berisi motivasi untuk menyucikan diri; jelas perbuatan ini positif. Sebaliknya ayat kedua berisi larangan mengklaim diri suci; ayat ini menjelaskan bahwa perbuatan tersebut adalah negatif.
Ar-Raghib al-Ashfahany (wafat pada 425 H) mengistilahkan perbuatan pertama dengan “penyucian diri dengan tindak nyata.” Sedangkan perbuatan kedua beliau namakan “penyucian diri dengan klaim belaka.” (baca: Mufradât Alfâzh al-Qur'ân; hlm. 381)
Bukankah perasaan seperti itu manusiawi?
Perasaan diri suci, pasca upaya untuk menyucikan diri, bukankah manusiawi, alias wajar-wajar saja. Mengapa dilarang?
Perlu diketahui, sesuatu yang manusiawi belum tentu islami. Misalnya, ketertarikan kepada lawan jenis. Ini manusiawi. Terlebih karena memang sejalan dengan dorongan syahwat manusia. Namun hal yang manusiawi, bila disalurkan tanpa aturan, menjadi tidak islami. Begitu pula perasaan diri suci dan terbaik atau tersalih. Ini gejala tidak islami. Mengapa?
Pertama, akan menyeret kepada seabreg penyakit hati yang amat berbahaya. Antara lain kesombongan, keangkuhan, takjub dengan diri sendiri, memandang remeh orang lain dan yang semisal.Jika seseorang telah terjangkiti penyakit sombong, walaupun kadarnya hanya sebesar debu, dia terancam terhalang masuk surga, sebagaimana telah diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sabdanya,
Perasaan sombong amat bertolak belakang dengan konsep ibadah dalam Islam. Sebab makna dasar ibadah adalah merendahkan diri di hadapan Allah. Maka jika ada orang rajin beribadah, namun justru kemudian yang muncul dalam dirinya perasaan sombong, berarti dia telah gagal mencapai tujuan utama ibadah.
Dari sini kita bisa memahami mengapa seorang ahli ibadah tersohor; Mutharrif bin Abdullah asy-Syikh-khir (wafat pada 95 H) pernah bertutur, “Aku lebih suka bila ketiduran sehingga tidak bisa bangun malam, lalu menyesal di pagi harinya, dibandingkan bila aku bisa bangun malam, namun kemudian di hatiku muncul perasaan takjub!.” (Hilyah al-Auliyâ’ karya Abu Nu’aim al-Ashbahany; II/200)
Kedua, tidaklah pantas kita merasa suci. Mengapa? Sebab jika kita mau merenungi sejauh mana kesempurnaan upaya kita untuk menyucikan diri, niscaya kita bisa berkaca, alangkah jauhnya kita dari potret kesucian! Maka akan sangat naïf bila kita merasa suci.
Sekadar contoh: sholat lima waktu yang selalu kita kerjakan secara berjamaah di masjid tepat pada waktunya. Selama sekian puluh tahun kita menjalankannya, pernahkah kita menunaikannya dengan kekhusyukan sempurna, sejak dari takbiratul ihram hingga mengucapkan salam? Sekali saja dalam kurun waktu yang amat panjang itu?! Silakan dijawab dengan jujur.Ini baru ibadah sholat. Bagaimana jika kita telusuri kualitas ibadah kita lainnya, semisal puasa, zakat, haji, dan zikir? Apalagi bila kita introspeksi, deretan maksiat lain, setiap hari juga kita kerjakan. Entah dosa semisal mata jelalatan, atau tutur kata tidak jujur. Atau pun dosa tersembunyi seperti iri-dengki, riya’ dan buruk sangka. Di situlah kita akan menyadari betapa jauhnya kita dari potret ideal orang yang suci. Maka mengapa kita masih juga merasa sok suci?
Karena itu, bila kita mencermati perjalanan hidup kaum salih terdahulu, kita akan dapatkan mereka adalah orang-orang yang begitu jauh dari perasaan sok suci. Mereka adalah generasi yang begitu tekun dalam beribadah, namun mereka amat rendah hati, bahkan cenderung merasa khawatir dengan nasib akhir mereka kelak di akhirat.
Allah Ta’ala merekam jejak menakjubkan mereka dalam firman-Nya,
Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu’anha saat membaca ayat tersebut terheran-heran, lalu bertanya kepada Nabiyullah Shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai Rasulullah, siapakah yang dimaksud dalam ayat ini; apakah orang yang merasa takut kepada Allah? Apakah ia adalah orang yang minum khamr dan mencuri?” “Bukan wahai putri Abu Bakr! Ia adalah orang yang menunaikan sholat, berpuasa dan bersedekah, namun ia juga merasa takut amalannya tidak diterima.” (HR. Tirmidzy dan dinilai sahih oleh Al-Albany)
Ya, begitulah potret ideal orang yang beriman. Gemar beramal namun hatinya tetap diliputi perasaan khawatir mengenai nasib amalannya. Bukan orang yang amalannya pas-pasan, bahkan cenderung kurang, tapi begitu pede memandang dirinya suci. Tutup pintu itu rapat-rapat!
Saking menjaga supaya tidak muncul perasaan sok suci, sampai Nabi kita Muhammad Shalllallahu ’alaihi wa sallam merasa perlu untuk mengubah nama yang berkonotasi demikian.Dikisahkan dalam Shahîh Muslim, salah satu sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menamakan anak perempuannya “Barroh”, yang kurang lebih maknanya “wanita yang sangat berbakti”. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam pun menasihati: “Janganlah kalian menganggap diri kalian suci. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui siapakah yang sejatinya berbakti di antara kalian.” Lalu beliau memerintahkan agar namanya diganti dengan “Zainab”.
Mari kita berusaha meneladani Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam menutup setiap celah yang mengantarkan kepada perasaan buruk. Jadikan “Sucikan diri, namun jangan merasa sok suci!” sebagai slogan kita.
“Ustad, sebagai manusia biasa, kadang terlintas di hati bahwa aku adalah orang yang terbaik di antara mereka. Bagaimana cara mengatasinya? Apa yang harus kulakukan? Aku tahu hal itu tidak boleh.” Begitu pesan singkat yang saya terima dari salah satu jamaah pengajian saya beberapa waktu lalu. Sebelum saya bahas solusi penyakit hati tersebut, perlu kiranya dijelaskan duduk permasalahannya. Sebab mungkin ada di antara pembaca majalah [Majalah Pengusaha Muslim Indonesia, red] ini yang bertanya-tanya: “Apa salahnya kita merasa paling baik. Toh kita sudah berusaha untuk memperbaiki diri. Bukankah itu konsekuensi hasil sebuah usaha?
Antara Usaha Menyucikan Diri dan Merasa Suci
Sebagian orang kurang bisa membedakan antara “usaha menyucikan diri” dan “merasa diri suci.” Seakan keduanya sama, padahal sebenarnya Al-Quran pun membedakannya. Mari kita cermati dua ayat berikut ini.
Ayat pertama,
"قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى"
yang artinya, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-A’la: 14). Semakna dengan ayat ini adalah QS. Asy-Syams: 9.Ayat kedua,
"فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى"
yang artinya, “Janganlah kalian menganggap diri kalian suci. Dia lebih mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32). Senada dengan ayat ini adalah QS. An-Nisâ’: 14 dan QS. Yusuf: 53.Ayat pertama berisi motivasi untuk menyucikan diri; jelas perbuatan ini positif. Sebaliknya ayat kedua berisi larangan mengklaim diri suci; ayat ini menjelaskan bahwa perbuatan tersebut adalah negatif.
Ar-Raghib al-Ashfahany (wafat pada 425 H) mengistilahkan perbuatan pertama dengan “penyucian diri dengan tindak nyata.” Sedangkan perbuatan kedua beliau namakan “penyucian diri dengan klaim belaka.” (baca: Mufradât Alfâzh al-Qur'ân; hlm. 381)
Bukankah perasaan seperti itu manusiawi?
Perasaan diri suci, pasca upaya untuk menyucikan diri, bukankah manusiawi, alias wajar-wajar saja. Mengapa dilarang?
Perlu diketahui, sesuatu yang manusiawi belum tentu islami. Misalnya, ketertarikan kepada lawan jenis. Ini manusiawi. Terlebih karena memang sejalan dengan dorongan syahwat manusia. Namun hal yang manusiawi, bila disalurkan tanpa aturan, menjadi tidak islami. Begitu pula perasaan diri suci dan terbaik atau tersalih. Ini gejala tidak islami. Mengapa?
Pertama, akan menyeret kepada seabreg penyakit hati yang amat berbahaya. Antara lain kesombongan, keangkuhan, takjub dengan diri sendiri, memandang remeh orang lain dan yang semisal.Jika seseorang telah terjangkiti penyakit sombong, walaupun kadarnya hanya sebesar debu, dia terancam terhalang masuk surga, sebagaimana telah diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sabdanya,
"لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ"
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar debu." (HR. Muslim dari Ibnu Mas'ûd)Perasaan sombong amat bertolak belakang dengan konsep ibadah dalam Islam. Sebab makna dasar ibadah adalah merendahkan diri di hadapan Allah. Maka jika ada orang rajin beribadah, namun justru kemudian yang muncul dalam dirinya perasaan sombong, berarti dia telah gagal mencapai tujuan utama ibadah.
Dari sini kita bisa memahami mengapa seorang ahli ibadah tersohor; Mutharrif bin Abdullah asy-Syikh-khir (wafat pada 95 H) pernah bertutur, “Aku lebih suka bila ketiduran sehingga tidak bisa bangun malam, lalu menyesal di pagi harinya, dibandingkan bila aku bisa bangun malam, namun kemudian di hatiku muncul perasaan takjub!.” (Hilyah al-Auliyâ’ karya Abu Nu’aim al-Ashbahany; II/200)
Kedua, tidaklah pantas kita merasa suci. Mengapa? Sebab jika kita mau merenungi sejauh mana kesempurnaan upaya kita untuk menyucikan diri, niscaya kita bisa berkaca, alangkah jauhnya kita dari potret kesucian! Maka akan sangat naïf bila kita merasa suci.
Sekadar contoh: sholat lima waktu yang selalu kita kerjakan secara berjamaah di masjid tepat pada waktunya. Selama sekian puluh tahun kita menjalankannya, pernahkah kita menunaikannya dengan kekhusyukan sempurna, sejak dari takbiratul ihram hingga mengucapkan salam? Sekali saja dalam kurun waktu yang amat panjang itu?! Silakan dijawab dengan jujur.Ini baru ibadah sholat. Bagaimana jika kita telusuri kualitas ibadah kita lainnya, semisal puasa, zakat, haji, dan zikir? Apalagi bila kita introspeksi, deretan maksiat lain, setiap hari juga kita kerjakan. Entah dosa semisal mata jelalatan, atau tutur kata tidak jujur. Atau pun dosa tersembunyi seperti iri-dengki, riya’ dan buruk sangka. Di situlah kita akan menyadari betapa jauhnya kita dari potret ideal orang yang suci. Maka mengapa kita masih juga merasa sok suci?
Karena itu, bila kita mencermati perjalanan hidup kaum salih terdahulu, kita akan dapatkan mereka adalah orang-orang yang begitu jauh dari perasaan sok suci. Mereka adalah generasi yang begitu tekun dalam beribadah, namun mereka amat rendah hati, bahkan cenderung merasa khawatir dengan nasib akhir mereka kelak di akhirat.
Allah Ta’ala merekam jejak menakjubkan mereka dalam firman-Nya,
"وَالَّذِينَ
يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ
رَاجِعُونَ . أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا
سَابِقُونَ".
yang artinya: “Mereka yang memberikan sedekah dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb-nya. Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.”(QS. Al-Mukminun: 60-61)Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu’anha saat membaca ayat tersebut terheran-heran, lalu bertanya kepada Nabiyullah Shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai Rasulullah, siapakah yang dimaksud dalam ayat ini; apakah orang yang merasa takut kepada Allah? Apakah ia adalah orang yang minum khamr dan mencuri?” “Bukan wahai putri Abu Bakr! Ia adalah orang yang menunaikan sholat, berpuasa dan bersedekah, namun ia juga merasa takut amalannya tidak diterima.” (HR. Tirmidzy dan dinilai sahih oleh Al-Albany)
Ya, begitulah potret ideal orang yang beriman. Gemar beramal namun hatinya tetap diliputi perasaan khawatir mengenai nasib amalannya. Bukan orang yang amalannya pas-pasan, bahkan cenderung kurang, tapi begitu pede memandang dirinya suci. Tutup pintu itu rapat-rapat!
Saking menjaga supaya tidak muncul perasaan sok suci, sampai Nabi kita Muhammad Shalllallahu ’alaihi wa sallam merasa perlu untuk mengubah nama yang berkonotasi demikian.Dikisahkan dalam Shahîh Muslim, salah satu sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menamakan anak perempuannya “Barroh”, yang kurang lebih maknanya “wanita yang sangat berbakti”. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam pun menasihati: “Janganlah kalian menganggap diri kalian suci. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui siapakah yang sejatinya berbakti di antara kalian.” Lalu beliau memerintahkan agar namanya diganti dengan “Zainab”.
Mari kita berusaha meneladani Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam menutup setiap celah yang mengantarkan kepada perasaan buruk. Jadikan “Sucikan diri, namun jangan merasa sok suci!” sebagai slogan kita.
0 komentar:
Post a Comment