Berakhlak Mulia Faktor Penting Dalam Meraih Kebahagiaan
Di antara hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan: memperhatikan adab-adab Islami; akhlak yang Islami saat bermuamalah dengan manusia, memperhatikan bagaimana adab Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan akhlak beliau ketika bergaul dengan masyarakat. Nabi shallallahau alaihi wa salam pernah bersabda:
اِ نَّمَا بُعِثْتُ لأُ تَمِّمَ صَا لِحَ الأَ خْلاَ قِ
Oleh karena itu, Nabi shallallahau alaihi wa sallam ketika ditanya tentang timbangan kebaikan yang paling berat di akherat, beliau menjawab, “Bertakwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.”
Akhlak mulia memiliki nilai tinggi di sisi Allah. Oleh karena itu, akhlak yang mulia merupakan tanda kebahagiaan orang yang memilikinya. Jika bermuamalah dengan orang lain dan berbicara dengan saudaranya, ia berbicara dengan kalimat yang lembut, indah dan menyenangkan hati. Dia berusaha menolong orang lain, selalu ingin membantu orang lain dan menjauhkan dirinya dari perkataan yang kasar, kotor dan perkataan yang menyakiti orang lain. Apabila akhlak yang mulia terlepas dari seseorang, maka mulutnya (perkataannya) selalu kotor, ia hanya mau mencari pertolongan saja, namun enggan menolong orang lain, sombong, suka melaknat dan suka menyakiti orang lain. Ini tipe orang yang tidak berbahagia, kehidupannya sengsara. Tidak hanya itu, orang-orang di sekitarnya pun turut sengsara. Istrinya (atau suaminya) jadi menderita, anak-anaknyapun mengalami hal serupa, karena ayah (atau ibu) mereka yang kurang ajar. Semua orang menjauhinya.
Berbeda halnya dengan orang yang berakhlak mulia, orang ini merasakan kebahagiaan dengan budi pekertinya yang luhur, melalui perkataannya yang lembut, tutur kata yang indah, ber-empati terhadap kesulitan orang lain. Orang ini insan yang bahagia. Orang-orang di sekitarnya pun merasakan kebahagiaan. Istri (suami), anak-anak, sahabatnyapun ikut berbahagia. Kenapa? Karena tutur katanya indah, ia selalu berpikir sebelum berbicara. Atas dasar itu, kita hendaknya menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.
Kalau kita berakhlak mulia di hadapan manusia, maka hendaknya kita lakukan itu karena (mengharap balasan dari) Allah. Sebab barangsiapa melakukan demikian tidak karena Allah ia akan menderita.
Coba bayangkan seandainya Anda berjumpa dengan seseorang yang berakhlak mulia, bertuturkata baik, pasti Anda akan merasa nyaman duduk dengan dia. Bahkan mungkin saja Anda berangan-angan bisa berlama-lama dengannya. Hal ini lantaran Anda benar-benar menikmati akhlak yang mulia. Sebaliknya jika Anda duduk dengan orang yang akhlaknya buruk, lisannya kotor, berbicara kasar, suka merendahkan orang lain pastilah Anda tidak merasa betah duduk dengannya. Penderitaan yang ia alami menular ke diri Anda.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الْمُؤْ مِنَ لَيْسَ بِا للَّعَّانِ وَ لاَ الطَّعَّانِ وَ لاَ الْفَا حِشْ وَ لاَ البَذِيءِ
“Seorang mu’min bukanlah insan yang lisannya suka mencela, melaknat, berkata-kata keji, berkata-kata buruk.” (HR Ahmad)
Ini bukanlah sifat seorang mu’min. Kalau ada seorang mu’min seperti ini maka perlu dipertanyakan keimanannya.
Berakhlak Baik Harus Karena Allah
Jika seseorang bermuamalah dengan orang lain dengan akhlak yang mulia, hendaknya dia mencari pahala dari Allah, bukan mencari ucapan terima kasih dari orang, jangan pernah mengharapkan ungkapan terima kasih manusia sedikitpun. Allah berfirman dengan menceritakan sifat orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang masuk surga:
إِنّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا
“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (al-Insan: 9)
Itu sifat orang-orang yang beriman kepada Allah. Adapun orang yang berpura-pura berperangai baik, dalam rangka mencari pujian manusia itulah kaum yang menderita. Akan datang kepada mereka penderitaan yang berkepanjangan disebabkan dirinya berakhlak mulia bukan karena Allah.
Orang yang ikhlas akan berbahagia, karena ia tidak akan memperdulikan komentar manusia, yang penting dia beramal mengharap pahala dari Allah. Ia tidak peduli dengan komentar manusia. Kalau ada orang yang memujinya, ia anggap angin lalu saja. Bila ada orang yang mencelanya ia pun membiarkannya.
Orang yang beramal karena manusia ia akan sangat sedih karena penderitaan yang timbul lantaran tidak ada orang yang menyanjungnya. Dia akan selalu menderita dan bertanya-tanya pada dirinya kapan saya dipuji? Ternyata orang-orang justru mencelanya, maka bertambahlah penderitaan yang ia alami.
Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah rahimahullah berkata, “Dan kebahagiaan yang sebenarnya yaitu tatkala engkau bermuamalah dengan manusia, dengan masyarakat, hendaknya engkau bermuamalah dengan mereka dengan baik karena (berharap pahala dari) Allah, meskipun harus merendah di hadapan mereka, meskipun harus membantu mereka. Jadi kita mengharapkan pahala dari Allah saat berbuat baik kepada mereka. Buka sebaliknya engkau seakan-akan membantu mereka karena Allah akan tetapi ternyata engkau menginginkan suatu pamrih. Karena itu ketika bermuamalah dengan orang lain, hendaknya engkau takut kepada Allah dan hendaknya engkau berbuat baik kepada mereka karena mengharapkan ganjaran dari Allah, bukan mengharap balasan dari mereka. Dan hendaknya engkau mencegah diri dari perbuatan zhalim kepada manusia.” Ini merupakan ungkapan yang indah.
Apabila orang-orang berakhlak mulia karena Allah, niscaya mereka akan berbahagia di dunia dan akherat. Apapun kebaikan yang engkau lakukan, jangan berharap kecuali wajah Allah. Dan jangan mengganggu orang lain dengan bentuk gangguan apa saja.
***
Sumber: Ceramah Prof. Dr. Abdurrozzaq di Masjid Istiqlal bulan Januari 2010
0 komentar:
Post a Comment