Oleh: Vienna Alifa
BELAKANGAN ini ada dua kabar di dunia maya yang cukup bikin pikiran, namun banyak pelajaran darinya yang harus saya camkan di dada.
Pertama, tentang perilaku seorang pemuka agama. Ia terhujat karena bertindak aniaya pada seorang jama’ahnya. Tak bermaksud menindas, katanya. Hanya lintasan emosi yang tak tertahankan semata.
Saya pun menahan diri untuk tak berkomentar di dinding maya. Meski hati sempat bergumam tak percaya. Tapi saya tidak punya porsi untuk mengadili setiap perilaku saudara seiman yang tampak tercela. Apalagi tiada dampak kerugian lahir batin secara langsung saya terima.
Barangkali baiknya saya ambil pelajaran saja. Daripada terjerumus pada perasaan benci yang tak semestinya. Yaitu cenderung membenci sosoknya ketimbang perbuatannya.
Begitulah angkara ketika bercokol di kepala. Seringkali membuat kita gelap mata. Seorang Ustadz pun dapat tercoreng muka, tatkala luput mengekang emosinya.
Hmm… jangan-jangan ini bentuk teguran Allah swt atasnya. Sifat buruknya jadi terlihat gamblang di mata manusia. Lalu ia pun menyesal, bertaubat dan bertekad tak lagi berlaku serupa. Sementara lontaran ketidaksukaan kita malah memicu dan menghimpun kebencian beruntun dari banyak pihak hingga terus tercatat sepanjang masa. Ya Allah, bagaimana diri ini mampu menghapusnya jika tak segera sadar akan bahaya melepas kata?
“Ya Rabb, keburukan sikap orang lain semestinya tak lantas membuatku layak untuk menilainya. Apalagi sampai mencacinya. Sementara boleh jadi aibku berlipat ganda dibanding kekurangannya. Atau amalanku lebih minim ketimbang segala usahanya.”
Kedua, tentang seorang pemimpin wanita yang mengemban amanah penuh cinta. Tindakannya tegas, lisannya lugas, tapi semua itu lahir dari hati yang tulus mengasihi warganya.
Berbagai penghargaan diraihnya, bermacam kemajuan lahir dari kebijakannya, banyak pujian mengalir untuknya, namun semua tak membuatnya berambisi meraih kekuasaan yang ia yakini diluar kapasitasnya.
Ia sungguh tak bermaksud cari sensasi. Hanya kekuatan iman yang membuatnya seoptimal mungkin ingin melayani. Cuma kekuatiran atas tanggung jawab yang kelak kan ditanya di akhirat, menjadikannya pribadi berdedikasi. Karenanya ia pun menangis jika tak mampu menuntaskan perjuangannya menutup lokalisasi. Sayangnya tirani seringkali menghadangnya tanpa basa-basi.
Saya sungguh berderai menyaksikan beliau dari layar kaca sambil tak putus mensyukuri. Bahwa meski langka, masih ada pemimpin macam beliau di negeri ini. Langkahnya tak hanya patut diapresiasi namun juga harus diikuti. Tentu bukan dimulai dengan menuding para wakil rakyat, pejabat atau siapapun, melainkan diawali dari diri sendiri.
Sebab, sejatinya -ujar baginda Rasulullaah saw, tiap hamba adalah pemimpin. Minimal bagi pribadi yang kerap takluk pada hawa nafsunya. Apalagi jika terhasut kebobrokan moral yang kian gencar merebak di sekitar kita. Niscaya akal, segenap indera dan seluruh anggota tubuh bakal lepas kendali. Maka barangsiapa pandai memimpin diri, niscaya ia piawai memimpin orang lain.
Itu pelajaran pertama yang kuambil dari sosok wanita bersahaja berselendang walikota.
Ada satu lagi yang menancap di jiwa, yaitu kegigihan untuk terus bekerja tanpa mempedulikan komentar sana-sini selama perbuatan kita berada dalam koridor syari’at-Nya.
Ya, saya harus fokus dalam bekerja. Terutama pada pekerjaan yang dampaknya bermanfaat bagi orang banyak. Dimulai dari keluarga, tetangga, komunitas, masyarakat hingga level negara kalau bisa. Apakah dengan menebar ilmu, menyumbang pikiran, memberi tenaga, meluangkan waktu, menawarkan jasa, sepanjang ada kesempatan dan kesehatan. Baik pekerjaan itu dilakukan secara berjamaah ataupun individu. Selama dilandasi niat ikhlas karena Allah swt, semoga hati ini tak goyah kala dicerca.
Pelajaran yang tak kalah penting lain dari figur pejabat bersahaja itu adalah saya harus percaya bahwa masih banyak saudara sebangsa yang bermental baja calon pemimpin berikutnya. Hanya saja sepi terbaca dalam berita atau belum teruji di pentas kuasa. Ah ya, ada beberapa yang sudah berlaga dengan sederet prestasi dan wacana harum tentang mereka.
Betul, saya ingin terus percaya. Meski telah banyak orang melengos kehilangan harapan terhadap para wakilnya di kursi parlemen yang kerap membara. Maka sebelum terjadi pesta rakyat nanti, saya harus berusaha membuka mata, memasang telinga, mencari informasi serta menerbangkan do’a, agar hati saya terbimbing saat memilih satu dari mereka sebagai calon pemimpin bangsa yang kelak dapat memberi fakta bukan janji manis semata.
Ustadz Hariri dan Bu Risma, saya tidak mengenal keduanya. Namun saya haturkan penuh terimakasih atas perilaku mereka yang membuat saya banyak belajar merenung dan mencari hikmah untuk membenahi diri.
Dan saya sadar betapa kemampuan menggali hikmah dari setiap peristiwa yang berlaku pada diri maupun orang lain tak kan mudah diraih tanpa mengharap terus karunia dan hidayah-Nya.
Rabbii hablii hukma wa alhiqnii bish ash-shaalihiin…
“Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh..” []
0 komentar:
Post a Comment