Sunday, 31 March 2013

Menjadi pribadi produktif, bukan pribadi pengemis.

23:53


“Sungguh, salah seorang di antara kamu mencari setumpuk kayu bakar, lalu menggendongnya di atas punggungnya, lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberi maupun tidak memberi,“ (HR Bukhari No 1984,1421, 2267 dan Muslim No. 1792).

Hadits ini merupakan petunjuk. Nabi Muhammad saw kepada umat Islam, baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas, agar menjadi manusia-manusia yang produktif walaupun konsekwensinya, harus siap berjuang, menempuh jalan melelahkan.


Dalam hadits lain disebutkan, ada seorang laki-laki muda datang kepada Nabi Muhammad saw untuk meminta sedekah. Melihat kegagahan lelaki muda tersebut, beliau bertanya, “Apa yang kamu miliki di rumahmu?”
Lelaki itu menjawab, “Selembar kain kasar dan satu cangkir kecil.”
Rasulullah bersabda, ”Bawa keduanya ke sini!” Lalu, Rasulullah saw melelang dua barang itu, sehingga laku dua dirham. Beliau serahkan dua dirham itu kepadanya sambil bersabda, “Belilah makanan untuk. keluargamu dengan satu dirham, dan yang satu dirham lagi belikanlah kapak, dan bawa ke sini kapak itu.”

Setelah lelaki itu tiba, ternyata Rasulullah telah menyiapkan gagang untuk kapak tersebut. Beliau memasangnya, lalu menyerahkannya kepada lelaki itu. Beliau bersabda, “Pergilah. Dengan kapak ini, carilah kayu bakar. Jual di pasar dan jangan datang ke sini kecuali setelah 15 hari.”

Lelaki itu pun mulai melaksanakan petunjuk Nabi Muhammad saw. Setelah 15 hari, ia mendapatkan 10 dirham sebagiannya digunakan untuk. membeli baju dan sebagiannya lagi makanan. Diceritakan, Rasulullah saw bersabda, “Ini lebih baik bagimu daripada harus meminta-minta,” (HR Abu Daud 1411 dan Ibn Majak 2195).

Kisah ini sejalan dengan arahan ajaran Islam agar para pemeluknya menjadi manusia¬manusia kuat. Rasulullah saw bersabda, “Seorang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih Allah dari pada Mukmin yang lemah, dan pada masing¬masing terdapat kebaikan.” Lalu, Rasulullah saw menjelaskan cara membangun mental dan jiwa Mukmin yang kuat itu, dengan sabdanya, “Bersemangatlah terhadap segala hal yang bermanfaat bagimu, meminta tolonglah kepada Allah, dan jangan merasa tidak mampu. Jika engkau tertimpa sesuatu (musibah, kegagalan dan lain-lain), janganlah berkata, “Kalau saja aku melakukan ini dan itu, niscaya akan jadi begini dan begitu, tapi ucapkanlah, “Allah telah mentakdirkan, dan apa yang dikehendaki-Nya, maka Dia kerjakan, sebab pernyataan, “Kalau saja” itu membuka pekerjaan bagi setan,” (HR Muslim No 4923).

Hadits Nabi Muhammad saw yang menjadi pokok pembahasan kita memberi pelajaran lain yang sangat menarik. Pertama, Nabi Muhammad saw mengajak umatnya, baik dalam kapasitas pribadi maupun kolektif agar mengikuti dan berpegang kepada yang pasti, menjaga harga diri, menjadi manusia yang berdaya, berkemampuan dan produktif walaupun untuk ini seorang manusia harus memanggul kapak, pergi ke mencari kayu bakar, memanggulnya, membawanya ke pasar, dan menjualnya untuk mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan dirinya. Menurut beliau saw, seseorang yang mempunyai mental seperti ini adalah manusia yang khair (baik, atau bahkan lebih baik). Dalam bahasa kekinian, hal ini lebih bergengsi, bermartabat dan lebih terhormat daripada harus meminta-minta dan mengemis-ngemis.

Kedua, Rasulullah saw mengajak umatnya untuk berpikir logis dan realistis. Ajakan beliau dengan logika yang langsung menyinggung jati diri dan harga diri seorang manusia, “Itu lebih baik daripada meminta-minta, baik dipenuhi permintaannya, atau tidak dipenuhi permintaannya”.
Sungguh, sebuah sentuhan nurani, kemanusiaan dan harga diri yang sangat mendalam. Maksudnya tentu agar manusia tidak mudah menyerah kepada keadaan yang menyulitkannya, lalu mendorongnya untuk meminta¬minta.

Ini cara yang ditempuh oleh Rasulullah saw dengan men-tarhib (menakut-nakuti) akibat buruk di dunia agar umatnya tidak berprofesi sebagai pengemis. Bentuk tarhib yang lebih mengerikan yang bersifat ukhrawi, yaitu sabda Rasulullah saw, “Meminta-minta terus menerus ada pada salah seorang di antara kamu, sehingga ia akan berjumpa Allah sementara wajahnya sudah tidak ada dagingnya sama sekali,” (HR Muttafaqun ‘alaihi Bukhari 1416 dan Muslim 1788).

Sedangkan dari sisi hasil meminta-mintanya, Rasulullah menjelaskan, hasil meminta-minta nilainya adalah suht, yaitu sesuatu yang haram yang tidak membawa keberkahan.
Rasulullah saw bersabda,
” … Adapun bentuk-bentuk meminta-minta yang lain adalah suht (sesuatu yang haram yang tidak membawa keberkahan) yang dimakan oleh pelakunya,” (HR Muslim 1794).

Pengarahan Rasulullah saw bahkan lebih jauh dari sekadar melarang umatnya untuk meminta-minta. Lebih dari itu, beliau mengarahkan agar umatnya menjadi pihak yang memberi dan bukan pihak yang meminta.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw sedang berada di atas minbar, dan menyebut-nyebut sedekah dan mendorong manusia untuk menjaga harga diri dari meminta¬minta. Beliau bersabda, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi, dan tangan di bawah meminta-minta,” (HR Hadits Muslim 1777).

Namun demikian, dalam beberapa kondisi, Islam membenarkan seseorang meminta bantuan kepada saudaranya yang lain. Di antara kondisi itu sebagaimana diriwayatkan dari Qabishah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga golongan. Yaitu, (pertama) seseorang yang menangggung beban diyat (denda atas pembunuhan) orang lain, maka dia dihalalkan meminta-minta sehingga ia mendapatkannya, kemudian menahan diri dari meminta.
(Kedua), seseorang yang terkena bencana dan menghancurkan hartanya, maka dia dihalalkan meminta-minta sehingga mendapatkan kecukupan untuk kehidupannya.
(Ketiga), seseorang yang jatuh miskin, sehingga kondisinya disaksikan tiga orang dari kaumnya yang berakal sehat yang menyatakan, seseorang ini memang telah jatuh miskin, maka dia dihalalkan meminta-minta sehingga mendapatkan kecukupan untuk kehidupannya. Adapun meminta-minta pada kasus selain ketiganya, maka yang didapatkannya adalah suht, yaitu sesuatu yang haram yang tidak membawa keberkahan yang dimakan oleh pelakunya,” (HR Muslim 1794).

Inilah pandangan Islam yang dijelaskan melalui hadits-hadits Rasulullah saw tentang meminta¬minta. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq, hidayah, kekuatan dan kesucian diri kepada seluruh kaum Muslimin. Dengan demikian, mereka mampu menjadi manusia-manusia berdaya, produktif dan tidak meminta-minta.

Musyafa Abdurahim, Lc Dosen Ma’had AI-Hikmah Jakarta



Insan Media

Insan Media sebagai media partner Berita dan Dakwah Islam Indonesia. Untuk tetap terhubung dengan berita dan artikel dakwah Insan Media, Silahkan Defollow blog ini.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2013 Insan Media. All rights resevered. Designed by Media Insan

Back To Top